Kontemplasi XXIII: Meraba Iba

Verezha Ibrahim
2 min readJul 2, 2020

--

(Sumber: Pinterest)

Sejak masih berada di bangku sekolah dasar, saya memiliki perasaan yang sensitif. Hal tersebut membuat saya menjadi mudah iba pada orang lain. Kala itu, saya satu kelas dengan seorang teman yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang memadai. Ayahnya seorang tenaga bangunan, sementara ibunya seorang pedagang jamu keliling.

Saya ingat betul di suatu malam, saya terjaga hingga larut hanya karena membayangkan bagaimana sulitnya hidup yang ia jalani. Saya tahu bahwa di sekolah, ia tak seceria teman-teman yang lain. Penampilannya lugu dan jarang berbicara. Menambah kesan dramatis di hidupnya. Saya menutup malam itu dengan berharap Tuhan memudahkan rezekinya.

Di lain cerita, saya bisa tiba-tiba iba tiap kali mendengar pedagang keliling lewat di depan rumah. Lagi-lagi, pikiran saya melayang membayangkan seberapa jauh jarak yang harus mereka tempuh sambil mendorong gerobak atau mungkin menopang dagangan. Apalagi, kalau hari itu hujan dan mereka harus mencari tempat berteduh yang entah di mana. Kerap muncul perasaan bersalah ketika saya tak bisa membantu dengan membeli dagangan mereka.

Bagi saya, perasaan mudah iba ini memiliki dua kutub. Di kutub positif, saya belajar untuk bersimpati dan menghargai hidup yang orang lain jalani. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing. Sementara di kutub negatif, saya sulit terhindar dari perasaan bersalah karena tak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka. Bila saya terus membiarkan perasaan bersalah ini muncul, maka akan kian menganggu.

Untuk mengurangi perasaan bersalah tersebut, saya berpegang teguh pada dua keyakinan. Pertama, saya tak boleh menetapkan standar bahagia saya pada orang lain. Bila saya merasa bahagia dengan memiliki ini dan itu, belum tentu orang lain merakasan demikian. Saya harus sadari bahwa setiap orang pasti punya caranya tersendiri untuk membuat dirinya bahagia.

Kedua, yang paling klise, saya percaya bahwa Tuhan adalah Sang Maha Pemberi Rezeki. Mengasihani kondisi ekonomi orang lain itu seperti meragukan kuasa Tuhan. Tentu Tuhan punya berbagai cara untuk menolong mereka yang membutuhkan. Mungkin salah satunya dengan menciptakan saya sebagai orang yang mudah iba dan tersentuh hatinya.

--

--

Verezha Ibrahim

I begin to write only when I’m certain what I’ll say isn’t better left unsaid.