Kontemplasi XXVI: Bayangan Kecemasan

Verezha Ibrahim
2 min readJul 13, 2020

--

(Sumber: Pinterest)

Selama seminggu ke belakang, saya memutuskan untuk rehat dari menulis jurnal dan mengurangi aktivitas di media sosial. Usai menulis Kontemplasi XXV beberapa waktu silam, kondisi saya nyatanya urung membaik. Pikiran saya jauh dari kata tenang. Sungguh, hari-hari yang begitu melelahkan bagi fisik dan mental saya.

Saya mencoba terus meyakini bahwa apa yang saya alami tersebut berakar dari gangguan kecemasan dan serangan panik. Ya, sudah masuk hitungan bulan saya mengidap kedua gangguan tersebut. Meski saat ini sedang dalam pengobatan, bukan berarti saya sudah sepenuhnya punya kendali untuk terhindar dari bayangan kecemasan dan serangan panik.

Terlebih, gangguan kecemasan tak hanya ‘menyerang’ aspek emosi, namun juga fisik. Hal yang kerap saya alami adalah sesak napas, jantung berdebar, keringat dingin, dan kepala yang pusing. Tak berlebihan rasanya bila saya menyebut situasi tersebut seperti sedang berhadapan dengan maut. Sulit untuk bisa berpikir jernih bahwa saya akan baik-baik saja dan masih punya kesempatan melihat hari esok.

Sabtu lalu, saya akhirnya berkonsultasi ke psikiater yang selama ini menangani gangguan kecemasan saya. Saya menceritakan seluruh runtutan kejadian yang dialami dan juga mengutarakan berbagai kekhawatiran yang muncul di benak saya. Singkat kata, beliau menenangkan bahwa semua ini memang kejadian yang wajar dialami oleh penderita gangguan kecemasan. Saya diminta untuk tetap rutin mengonsumsi obat, serta yang tak kalah penting adalah ‘menjaga diri’.

Syukurlah, setelah seminggu berkutat dengan rasa cemas dan gelisah, kondisi saya sekarang kian membaik. Salah satu hal yang paling membahagiakan adalah merasakan kembali nikmatnya sehat setelah bersusah payah menahan sakit demi tetap bertahan hidup. Semoga sehat selalu.

--

--

Verezha Ibrahim

I begin to write only when I’m certain what I’ll say isn’t better left unsaid.