Kontemplasi XXVIII: Persona Demi Pesona

Verezha Ibrahim
2 min readJan 10, 2022

--

Usia terus bertambah. Beranjak dewasa. Semakin tua. Namun, ada satu hal yang masih hinggap di kepala. Bersemayam cukup lama sedari muda. Sebuah tanya dengan jawaban yang tak begitu mudah. Siapa diri saya sebenarnya?

Bukan tentang nama. Bukan cerita asal usul atau silsilah keluarga. Terlebih, pertanyaan saat wawancara kerja. Ini tentang eksistensialisme yang mencari makna.

Semakin lama semakin dilema. Resah itu tak reda. Perlukah berpura-pura menjadi rupa-rupa yang bukan saya? Siapkah di sini menerima bila tak diterima oleh mereka di sana? Menjadi ada apanya dan apa adanya bukanlah pilihan yang mengada-ngada. Ternyata memang nyata.

Saya menduga ini erat kaitannya dengan ‘topeng’ atau biasa dikenal dengan persona. Menurut filsuf Jepang, ada tiga persona yang kita punya. Pertama, digunakan untuk menghadapi dunia. Kedua, menghadapi orang terdekat atau keluarga. Ketiga, saat tidak ada siapa-siapa. Untuk apa itu semua? Salah satunya karena anggapan bahwa mereka tidak mungkin menerima diri kita begitu saja.

Dalam kata lain, persona itu demi pesona. Menyuguhkan daya tarik setiap kali berjumpa. Mencoba memikat mata dan mengikat rasa. Menjadi orang yang berbeda-beda tergantung bertemu dengan siapa. Apakah itu hal yang benar atau salah? Menurut Carl Jung, persona bisa saja ejawantah versi yang lebih baik (ideal self) dari diri kita. Bisa juga hanya citra yang dibuat semata demi bisa diterima. Ya, demikian adanya.

Tampaknya, alasan dari pertanyaan di paragraf awal adalah karena saya acapkali melihat diri sendiri dari kacamata orang kedua dan ketiga. Fokus pada apa yang bisa membuat mereka suka. Seakan validasi adalah yang utama. Sampai lupa berkaca, sudahkah orang pertama ini bahagia dengan dirinya?

Saya akan menemukan diri sendiri ketika tak lagi memikirkan orang lain akan menilai atau berkata seperti apa. Memang sebaiknya jangan berharap orang banyak akan menerima kalau orang terdekat saja (diri sendiri) tidak bisa. Selain itu, David Foster Wallace pun pernah berkata,

You’ll stop worrying so much what other people think of you when you realize how seldom they do.

Kuncinya ada di menerima. Pertanyaan di awal tak perlu ada seandainya saya tak bersusah payah untuk menjadi siapa-siapa. Bisa saja karena saya melihat bahwa diri ini jauh dari sempurna, sementara orang lain seolah punya segalanya. Namun, nyatanya Jordan Peterson mengatakan hal sebaliknya,

What do you know about them? You really want their lives? Their problems? They are not you at all. No matter how successful they appear on the outside, they have no shortage of terrible problems.

Sementara itu, persona akan tetap ada. Saya meng-amin-kan ucapan Carl Jung bahwa persona bisa sebagai self-fulfilling prophecy atau nubuat yang nantinya terpenuhi dengan sendirinya. Kala saya menghadapi dunia maupun sanak saudara dan keluarga, persona tak sebatas pesona, melainkan menyesuaikan dengan suasana dan menjadi diri saya yang sebenar-benarnya.

--

--

Verezha Ibrahim

I begin to write only when I’m certain what I’ll say isn’t better left unsaid.