Terbuai di Spotify

Verezha Ibrahim
3 min readDec 10, 2020

--

2 Desember 2020, Spotify menyuguhkan laporan aktivitas saya selama beberapa bulan ke belakang di aplikasi musik tersebut. Saya cukup antusias menyimak sajian informasi yang dikemas dengan amat ciamik. Bagi saya, mengetahui apa lagu-lagu yang paling sering didengar setali tiga uang dengan menerima hasil tes kepribadian. Lagu dengan jumlah menit didengar terbanyak akan menjadi cerminan kondisi saya di tahun itu.

Tuntas dan puas membaca suguhan data dan angka, saya turut tergerak untuk membagikan sepenggal informasi tersebut ke media sosial sebagaimana lazimnya. Entah mengapa rasanya orang lain perlu tahu lagu apa saja yang saya dengar. Meski sejujurnya, andai saya ada di posisi sebagai sang penerima kabar, sudah barang tentu saya tak terlalu peduli.

“Kamu dengerin musik sesering itu?”, tanya seorang kawan selang sekian menit usai saya mengunggah tangkapan layar Spotify di akun media sosial.

Pertanyaan itu mengacu ke deretan angka 73.535, jumlah menit yang saya gunakan untuk mendengarkan sekian banyak lagu. Sejurus kemudian, saya mulai paham bahwa tampaknya angka tersebut terbilang besar, sehingga menjadi pusat pertanyaan alih-alih pilihan lagu yang saya dengar.

Bila dikonversi secara sederhana, maka hingga di awal Desember, tiap harinya saya mendengarkan lagu-lagu sekitar 3.7 jam. Saya tak menyangkal bahwa hampir di segala aktivitas, pasti ada lagu yang saya putar. Berolahraga, berjalan ke suatu tempat, menulis, atau menyendiri di kamar adalah aktivitas-aktivitas yang janggal rasanya bila tidak diiringi alunan lagu. Hanya saja, saya tak menduga mendengarkan selama itu.

Walau begitu, berdasarkan riset yang dilakukan Nielsen di tahun 2017, rata-rata orang-orang Amerika mendengarkan lagu selama 4.5 jam tiap harinya. Dalam tiga tahun terakhir, angka tersebut menunjukkan tren yang positif. Siapa lagi kalau bukan teknologi mutakhir macam Spotify dan iTunes yang menjadi penggeraknya. Ternyata untuk perkara durasi mendengarkan lagu saja, orang-orang Amerika lebih digdaya.

“Lalu, mengapa begitu betah mendengarkan orang berdendang?”, sebuah pertanyaan lanjutan yang kali ini dilemparkan diri sendiri dan menjadi topik yang pantas sebagai bahan evaluasi di akhir tahun.

Akan terlampau mudah dan ijmal apabila saya menjawab karena gemar. Meski memang benar adanya, namun hal itu tentu saja tak menjelaskan secara dalam dan terperinci.

Saya perlu menggali lebih jauh apa sebenarnya nilai yang saya genggam. Seperti pepatah yang acap kali didengar di dunia pemasaran, “Konsumen membeli produk yang memberikan mereka keuntungan yang bisa membawa mereka lebih dekat pada nilai.”. Nilai di sini contohnya bisa berupa kebahagiaan, rasa aman, atau penerimaan sosial.

Renungan singkat saya menghasilkan kesimpulan bahwa mendengarkan lagu membuat saya menjadi tenteram. Saya menyadari sepanjang tahun ini, pikiran dan perasaan saya kerap kacau-balau serta diselimuti rasa gelisah. Tahun yang berat untuk fisik dan mental. Mendengarkan lagu membuat saya merasa ada orang di ujung sana yang bisa memahami dan mengerti kondisi yang saya alami tanpa menghakimi. Saya tak sendirian melalui masa-masa sulit ini.

Lima lagu teratas yang paling rajin saya dengar memang bernuansa melankolis. Sugar milik Brockhampton di posisi puncak, disusul tiga lagu milik Joji, yaitu Run, Slow Dancing in The Dark, dan Yeah Right, serta Streetcar yang dibawakan ulang oleh Daniel Caesar. Tempo yang cukup lambat sangat mendukung suasana hati yang muram dan kondisi yang sedang getir-getirnya.

Saya paham pada akhirnya mendengarkan lagu tak bisa mengubah keadaan. Sebaliknya, bagi saya, hal tersebut bak mengucurkan bensin ke lubang api. Membuatnya kian berkobar. Namun, di situ letak seni kehidupan. Menikmati apa yang sedang terjadi, tak terkecuali merayakan kesedihan. Mustahil menolak kenyataan. Diterima saja pelan-pelan, maka akan muncul ketentraman.

Mungkin yang lebih tepat adalah saya menenangkan diri selama 73.535 menit di tahun 2020. Waktu yang amat lama bagi insecurity bersemayam di hidup saya, tetapi durasi yang terbilang sebentar jika melihat itu sebagai self-care. Bagaimanapun juga, saya wajib bersyukur karena masih diberi kekuatan untuk berjuang dengan berbagai cara hingga saat ini.

“Let me know. Do I still got time to grow? Things ain’t always set in stone. That be known let me know… See I know my destination, I’m just not there.” — Streetcar.

--

--

Verezha Ibrahim

I begin to write only when I’m certain what I’ll say isn’t better left unsaid.